Breaking News
Loading...
MEDIA TIPIKOR INDONESIA & Garda Tipikor Indonesia Banyuwangi" Turut Berduka atas Terjadinya Bom Prancis"
Selasa, 05 Maret 2013

Dilema Lembaga Pendidikan di Kabupaten Jember

22.10

"Menjamurnya jumlah Populasi Sekolah Swasta Kabupaten Jember, Menjadikan persaingan yang kurang sehat dan mengarah kepada permusuhan dan sentimen yang terselubung"

Pengambilan satu  bentuk kebijakan oleh pemerintah tentang wajib belajar 12 tahun dan anggaran APBN dan APBD 20 % yang dilarikan kesektor pendidikan semakin banyak jumlah populasinya. Sebagai bentuk kebijakan yang dituangkan dalam bentuk peraturan tertulis yang diamanatkan oleh undang-undang.

*UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
*UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
*UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan TanggungJawab Keuangan Negara. ·        
*PP No. 106 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.

Pertumbuhan lembaga pendidikan dengan perimbangan jumlah output siswa diharapkan akan tertampung di lembaga pendidikan setempat notabene menyukseskan program tersebut. Grafik perkembangan jumlah lembaga tersebut harus di barengi dengan penataan semua system.

Di sektor pendidikan berdasarkan hasil pendataan sekolah  kabupaten jember setingkat  SD/MI Swasta ada 485 sekolah, SMP/MTs Swasta 390 sekolah, SMA/ SMK/MA  Swasta 304 sekolah (sumber Goggle update tahun 2012). Ditambah lagi sekolah swasta  yang masih belum terdaftar dan pendidikan negeri yang jumlahnya tidak bisa dibilang sedikit (red,banyak) juga tersebar hampir merata disemua wilayah.

Di sisi lain dengan menjamurnya lembaga  pendidikan formal yang seharusnya mengacu pada standart kelayakan pendirian sekolah sudah tidak lagi diperhatikan, dengan radius yang sangat berdekatan secara langsung dan tidak langsung  memicu terjadinya persaingan tidak sehat kompetisi ekspansi garapan perebutan siswa yang kerap menimbulkan benang merah antar lembaga yang mengarah pada permusuhan terselubung.

Disinilah hukum rimba mulai berlaku kembali di era reformasi, “siapa yang kuat maka dialah yang menang”, tidak jarang sejumlah lembaga  untuk memenuhi target siswa menggunakan fasilitas mewah penjemputan siswa dengan transport bus sekolah dengan alasan memudahkan siswa melintasi desa dan kecamatan tetangga, disadari atau tidak ini adalah satu proses pemanjaan kepada siswa, sehingga menjadikan siswa  cenderung ketergantungan, dan tidak akan berangkat sekolah kalau tidak di jemput , walaupun fakta dilapangan daerah sekitar masih ada lembaga pendidikan yang lebih terjangkau oleh siswa.

Tidak jarang budaya praktek membeli siswa dilakukan dengan dalih sebagai stimulus kepada orang yang bisa membawa dan memasukkan siswa kesalah satu sekolah sebagai incment, disinilah runtuhnya nilai falsafah moral pendidikan tidak jarang anak bangsa tidak mau berpikir ruwet terhadap masalah yang dihadapinya yang pada akhirnya lari kepada sikap putus asa dan lari kejurang narkoba yang dianggap jalan terahir karena tidak mampu lagi berfikir apabila ada problem yang dihadapinya padahal dengan masalah itu adalah satu awal dari proses pendewasaan,

Disatu sisi lembaga yang masih baru merintis dan kondisi sekolahnya sangat minus semakin terbelakang baik kwantitas dan semangat kerja yang pada akhirnya lembaga tersebut terkena dampak/ bias dari kompetisi yang kurang sehat tersebut, dan lembaga harus berjuang mempertahankan diri yang pada ahirnya akan gulung tikar dengan sendirinya.

Persaingan tidak sehat akan timbul dikarenakan sejumlah  lembaga pendidikan akan berebut  kwantitas dengan target oriented semakin banyak siswa semakin banyak anggaran BOS (Bantuan oprasional  sekolah) yang didapat, sehingga tujuan utama mencerdaskan kehidupan bangsa  yang semestinya mengutamakan kwalitas  mulai kabur, dan sejumlah kepala sekolah dan madrasah banyak disibukkan oleh laporan keuangan.

Disadari atau tidak secara konteks pisikologi telah menanamkan nilai moral diskriminasi kelompok kepada calon penerus bangsa, maka tidak heran di era sekarang banyak perpecahan antar suku dan antar organisasi, karena saling mempertahankan ideologi serta prisip yang notabene kelompok sendiri paling benar, yang tidak jarang memakan korban  hanya karena seklumit masalah yang sebenarnya tidak perlu dipersoalkan.

Dengan kejadian diatas siapakah yang patut disalahkan ? Guru, sitem atau pemegang kebijakan, Yang menjabat ?

Oleh karenanya, mari kita benahi bersama mengingat pendidikan adalah tanggungjawab semua warga negara, dan bukan hanya menjadi tanggung jawab pelaku dan pemegang kebijakan pendidikan, akan tetapi semua kalangan yang merasa bertangung jawab akan kelangsungan pentingnya pendidikan kedepan.

Dari persoalan inilah pemerintah harus kembali mengevaluasi dan duduk bersama dengan lembaga terkait, baik BUPATI, BAPEKAB, KEMENDIKNAS dan KEMENAG untuk mendata dan menata serta memetakan kembali jumlah populasi lembaga pendidikan formal yang ada di Kabuaten Jember.

Dan seharusnya pemerintah tidak lagi  menambah jumlah lembaga pendidikan, namun lebih focus kepada pembinaan dan membantu lembaga pendidikan yang sudah ada, yang masih banyak kekurangan baik sarana dan prasarana, terutama peningkatan SDM guru sebagai pedagogignya serta membuat aturan atau kebijakan tertang pembatasan dalam penerbitan ijin operasional sehingga sirkulasi laju input dan output akan menjadi berimbang.***(Imam Haironi,S.Pd/Wartawan MTI)

0 comments :

Posting Komentar

Terima kasih atas Kunjungan anda, Mohon tinggalkan Komentar
 
Toggle Footer
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...